Berkah di Bulan Suci
Namaku adalah Alisya Putri Maharani. Aku biasa dipanggil Alisya. Aku lahir dari keluarga sederhana. Meskipun terlahir dari keluarga yang sederhana, tetapi aku tetap bersyukur karena dengan kesederhanaan aku bisa mengetahui arti kehidupan yang sebenarnya. Ayahku bernama Sukiman. Ia adalah seorang buruh/pekerja harian lepas, sedangkan ibuku bernama Rianti. Ia bekerja sebagai karyawan swasta di salah satu pabrik.
Saat ini, aku tinggal di sebuah rumah berukuran 6x9 meter. Tampilan rumahku sederhana dan tidak mencolok seperti rumah-rumah kebanyakan. Hanya saja tembok rumahku yang berwarna krem membedakan rumahku dengan rumah lainnya. Pot-pot bunga pun tampak berjejer rapi di depan rumah. Di belakang rumahku, terdapat lahan kosong yang ditanami pepohonan sehingga jika musim hujan tiba, banyak nyamuk yang berdatangan. Selain itu, jarak antara rumahku dengan rumah lainnya yang tidak terlalu dekat membuat rumahku mempunyai halaman yang cukup luas sehingga dapat digunakan sebagai tempat bermain dan untuk kegiatan lainnya. Di rumah ini, aku hanya tinggal bersama kedua orang tuaku karena aku adalah anak satu-satunya yang mereka miliki.
***
Malam ini adalah malam yang sangat ditunggu-tunggu oleh umat Islam di seluruh dunia karena malam ini adalah malam awal datangnya bulan Ramadhan. Sore harinya, para remaja di desaku mulai membersihkan dan menghiasi masjid dengan pernak-pernik seperti, lampion, kaligrafi, serta hiasan lainnya. Mereka juga membuat obor yang digunakan sebagai penerangan ketika hendak ke masjid. Aku pun ikut serta dalam kegiatan tersebut. Setelah semua obor berjejer di pinggir jalan dan semua lampion sudah dipasang di depan masjid, kami pun bergegas untuk pulang dan segera bersiap untuk menunaikan salat tarawih nanti malam.
“Teman-teman, sebelum pulang kita berkumpul di serambi masjid terlebih dahulu karena ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan,” ucap ketua pemuda di desaku yang bernama Candra.
“Siap, Pak Ketua,” jawab anggota pemuda lainnya.
Kami pun berjalan menuju serambi masjid yang berada tak jauh dari posisiku saat ini. Aku berjalan sambil melihat lampion serta hiasan yang kami pasang tadi. Menurutku, ketika bulan Ramadhan tiba masjid ini terlihat lebih indah dari biasanya. Hal ini karena banyak orang berbondong-bondong untuk menghias masjid agar terlihat lebih indah juga supaya dapat meningkatkan daya tarik para warga untuk beribadah di masjid. Sesampainya di serambi masjid, kami lalu duduk melingkar di atas tikar yang telah kami bersihkan tadi.
“Sebelumnya, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap Candra.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab para pemuda serentak.
“Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah menyempatkan diri untuk hadir pada kerja bakti ini,” kata Candra sambil tersenyum bahagia. “Berhubung bulan Ramadhan sudah tiba maka kita harus melaksanakan rutinitas kita seperti tahun-tahun sebelumnya. Jadwal piket di bulan Ramadhan sudah saya tempel, nanti bisa dilihat di papan pengumuman yang ada di depan masjid. Saya berharap di tahun ini partisipasi kalian untuk melaksanakan piket di bulan Ramadhan dapat meningkat dari tahun-tahun sebelumnya,” tambahnya dengan muka yang penuh harapan.
“Masuk pak eko,” jawab salah seorang pemuda yang duduk disampingnya. “Bagaimana untuk takbirannya? apakah kita mau ikut lomba takbir atau takbir mengelilingi desa seperti tahun sebelumnya?” tanyanya dengan rasa penasaran.
“Untuk masalah takbiran dapat kita bicarakan di pertengahan bulan Ramadhan. Nanti akan diadakan rapat khusus untuk membahas takbiran. Berhubung adzan maghrib sebentar lagi akan berkumandang marilah kita akhiri acara pada sore hari ini. Semoga bulan Ramadhan tahun ini membawa berkah untuk kita semua.”
“Amin..,” jawab para pemuda serentak.
“Saya akhiri wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap Candra mengakhiri pembicaraannya.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab para pemuda serentak.
Kami memutuskan untuk pulang menuju rumah masing-masing. Aku menyusuri jalan menuju rumah dengan ditemani hembusan angin yang mulai menusuk-nusuk tubuhku. Kulangkahkan kakiku hingga aku sampai di depan rumah. Aku lalu membuka pintu depan dengan tangan kiriku, tetapi entah kenapa pintu itu tidak dapat terbuka. Mungkin Ibuku menguncinya dari dalam.
“Tok...tok...tok...,” aku mulai mengetuk pintu itu.
Rupanya Ibu tidak mendengar suara pintu yang kuketuk. Aku memutuskan untuk masuk lewat pintu belakang. Pintunya terbuka, tetapi tidak ada orang sama sekali. Aku mulai memasuki pintu tersebut. Aku menengok ke kanan dan kiri untuk memastikan di situ ada orang atau tidak. Rupanya memang tidak ada orang.
“Ibu dan Ayah kemana ya, kok di rumah nggak ada orang?” tanyaku penasaran.
Aku menengok keluar rumah. Aku melihat ada Ayah dan Ibu serta beberapa saudaraku sedang berkumpul dan berbincang-bincang di depan rumah Simbok. Simbok adalah satu-satunya nenek yang aku miliki karena nenekku yang satunya sudah meninggal dunia. Meskipun sudah renta, Simbok masih ingin mencari uang. Setiap hari ia membuat tambir (nampan yang terbuat dari anyaman bambu) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Suaminya sudah meninggal sejak tahun 2013 karena penyakit komplikasi yang dideritanya. Setelah Kakek meninggal, Simbok merasa sedih karena kakek adalah orang yang selalu menemaninya dalam keadaan sedih maupun susah. Oleh karena itu, Simbok merasa terpukul ketika orang yang ia sayangi pergi untuk selama-lamanya.
Adzan maghrib sudah mulai berkumandang, tetapi sampai sekarang aku belum sempat untuk mandi. Kulangkahkan kakiku dengan tergesa-gesa menuju kamar mandi. Aku bergegas untuk segera mandi karena aku takut ketinggalan salat maghrib berjemaah di masjid. Setelah selesai mandi, aku lalu mengambil mukena yang ada di kamarku sambil mengajak Ayah untuk salat berjemaah di masjid.
“Yah, ayo salat berjemaah di masjid,” kataku tergesa-gesa.
“Ayo, kamu wudu dulu aja nanti Ayah menyusul,” kata Ayah sambil mengambil sarungnya yang ada di lemari.
“Baiklah, Yah,” jawabku singkat sambil bergegas menuju tempat wudu.
Setelah selesai wudu, aku lalu memakai mukenaku sambil menunggu Ayah yang sedang wudu. Setelah Ayah selesai wudu, kami pun bergegas menuju masjid untuk melaksanakan salat maghrib berjemaah. Suara ikamah mulai terdengar ketika aku dan ayah masih dalam perjalanan menuju masjid. Kami pun berjalan dengan terburu-buru. Sesampainya di masjid, salatnya sudah dimulai sehingga kami langsung masuk ke masjid dan mengikuti salat tersebut. Setelah selesai salat maghrib, kami memutuskan untuk pulang ke rumah.
Di sepanjang perjalanan pulang, kami disambut dengan barisan obor yang mulai menyala. Kami menikmati perjalanan pulang sambil melihat pemandangan indah sore itu. Sesampainya di rumah, aku memutuskan untuk memasak karena sore ini aku belum makan. Aku mulai memasak di dapur yang berukuran 3x4 meter. Di dapur inilah Ibuku biasanya memasak untuk keluarga kami. Hari ini aku memasak nasi goreng karena kebetulan di rumah nasinya masih banyak. Aku mulai mempersiapkan bahan-bahannya, seperti nasi, telur, sosis, serta bumbu nasi goreng. Setelah semua bahan siap, aku mulai memasak. Dari kecil aku memang suka memasak sehingga aku sudah terbiasa untuk memasak sendiri. Hari ini aku memasak nasi goreng cukup banyak supaya Ayah dan Ibu juga ikut merasakannya. Aroma nasi goreng pun mulai tercium. Ayah dan Ibu yang sedang menonton televisi pun juga mencium aroma ini.
“Wah baunya enak sekali ini,” guman Ayah sambil melihat kearahku yang sedang memasak.
“Kamu masak apa, Sya?” tanya Ibu penasaran.
“Rahasia dong, Bu. Nanti Ibu juga akan tau,” jawabku sambil sedikit tersenyum.
Akhirnya nasi goreng yang aku masak pun sudah jadi. Aku mulai mengambil piring dan meletakkan nasi goreng di atas piring yang aku ambil tadi. Kubawa piring itu menuju ruang keluarga karena Ayah dan Ibu sedang menonton televisi di sana. Kulangkahkan kakiku dan kurasakan jantungku mulai berdebar karena aku takut jika masakanku rasanya kurang enak. Sesampainya di ruang keluarga aku disambut dengan senyuman dari Ayah dan Ibuku.
“Ini Yah, Bu, nasi goreng buatanku. Aku membuatnya dengan sepenuh hati. Akan tetapi, jika rasanya kurang enak mohon dimaklumi ya,” kataku sambil tersenyum malu.
Kemudian kuberikan dua piring nasi goreng yang kubawa untuk Ayah dan Ibu serta sepiring nasi goreng untukku. Mereka mulai merasakan nasi goreng buatanku. Aku sudah tidak sabar menunggu komentar dari mereka. Apakah masakanku enak atau tidak.
“Wah anak Ayah pinter banget masaknya,” kata Ayah sambil mengunyah nasi goreng yang ia makan.
“Iya ini enak banget, Sya. Bahkan lebih enak dari masakan Ibu,” kata Ibu memuji masakanku.
”Ah, Ayah dan Ibu bisa aja. Emangnya beneran enak, Yah, Bu?” jawabku tidak percaya.
“Iya, makanya dicoba dulu masakanmu itu. Jangan cuma diliatin aja,” kata Ibu sambil menikmati nasi goreng buatanku.
Aku mulai mencicipi nasi goreng buatanku dan ternyata apa yang mereka bilang memang benar. Nasi goreng buatanku enak, tidak seperti yang biasanya aku buat. Aku pun menghabiskan nasi goreng yang aku buat hingga perutku terasa kenyang. Setelah selesai makan, aku lalu mengambil mukena dan bersiap-siap untuk salat isya dan tarawih di masjid. Adzan isya pun mulai terdengar. Aku memutuskan untuk wudu terlebih dahulu, sedangkan Ayah dan Ibu masih bersiap-siap di dalam rumah. Setelah selesai wudu, aku lalu memakai mukena sambil menunggu Ayah dan Ibu yang sedang berwudu. Ayah dan Ibu akhirnya selesai berwudu. Kemudian kami berangkat ke masjid dengan berjalan kaki karena jarak antara masjid dan rumahku tidak terlalu jauh sehingga dengan jalan kaki pun kita tidak akan terlambat untuk salat. Sesampainya di masjid, sudah banyak orang yang berdatangan karena hari ini adalah hari pertama salat tarawih. Aku dan Ibu lalu masuk ke serambi masjid karena di dalam masjid sudah penuh. Kami lalu melaksanakan salat isya dan tarawih bersama-sama.
Setelah selesai salat tarawih, kami memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami berjalan melewati barisan obor yang menyala di malam yang cerah dan dihiasi dengan bintang-bintang yang bertebaran di langit. Tak lupa, bulan pun ikut menyapa kami dengan memperlihatkan senyumannya yang sangat manis. Malam ini, kami sangat senang karena bulan Ramadhan sudah tiba. Di bulan Ramadhan ini kami berharap bisa lebih baik dari bulan Ramadhan sebelumnya.
Sesampainya di rumah, aku lalu masuk ke kamar karena aku sudah mulai mengantuk. Aku lalu melepas mukena yang masih aku kenakan dan kuletakkan di atas meja belajar yang terletak di samping tempat tidurku. Sesaat sebelum tidur, aku menengok jam dinding yang ada di kamarku. Waktu menunjukkan pukul 20:30 WIB. Menurutku ini belum terlalu malam, tetapi aku sudah merasa mengantuk. Sebelum tidur, aku memutuskan untuk memasamg alarm pada pukul 03:00 WIB supaya besok aku tidak bangun kesiangan ketika sahur. Setelah itu, aku memutuskan untuk segera berbaring di tempat tidurku. Kutarik selimut yang ada di atas bantal dan kututupi tubuhku dengan selimut itu. Aku mulai memejamkan mataku dan akhirnya aku pun tertidur pulas.
***
“Kring...kring...kring...,” bunyi alarm yang sengaja aku atur tadi malam.
Aku terbangun dari tidurku dengan muka yang masih mengantuk. Kuarahkan pandanganku ke sebelah kiri tempat tidur. Kulihat jam yang ada di dinding kamar sambil mengucek mataku dengan kedua tangan.
“Baru jam 3,” gumamku dalam hati.
Alarm masih berbunyi dan bahkan semakin keras. Rupanya aku belum mematikannya. Kuraih handphone di meja dengan tangan kiriku yang masih lemas. Aku lalu mematikan alarm itu dan kuletakkan kembali handphoneku di atas meja. Aku meraih selimut yang ada di sampingku dan kututupi badanku dengan selimut itu. Meskipun ini adalah hari pertama puasa, tetapi aku masih saja merasa malas untuk bangun. Aku memutuskan untuk tidur lagi dan bangun pada pukul 03.30 WIB.
Di kamar berukuran 3x3 meter ini aku memutuskan untuk tidur kembali. Dengan ditemani beberapa boneka yang kumiliki, aku pun tertidur pulas. Jam sudah menunjukkan pukul 03.30 WIB, tetapi aku tidak juga bangun. Aku masih tertidur dengan pulas karena pada hari itu badanku terasa kecapekan.
“Sya... bangun,” suara Ibuku dari depan pintu kamar.
Aku masih saja melanjutkan tidur karena aku tidak mendengar suara Ibu yang membangunkanku. Pintu kamarku masih tertutup rapat sehingga suara yang datang dari luar tidak begitu jelas terdengar.
“Ngeekk...,” terdengar suara pintu terbuka.
“Sya... bangun. Ini sudah jam setengah empat. Hari ini kan hari pertama puasa jadi jangan sampai kamu tidak sahur ya,” kata Ibu sambil mendekati tempat tidurku.
Aku lalu membuka mataku yang masih lengket ini. Rasanya sangat susah untuk membukanya karena aku masih mengantuk. Aku merasakan kedua kelopak mataku itu masih berusaha keras untuk membukanya.
“Sekarang sudah jam berapa, Bu?” tanyaku kepada Ibu yang sedang duduk di tempat tidurku.
“Kan tadi Ibu sudah bilang, sekarang sudah jam setengah empat. Ayo buruan kita sahur nanti keburu imsak,” kata Ibu sambil menarik tanganku yang masih lemas.
Aku bergegas menuju kamar mandi yang terletak di sebelah kiri dapur untuk mencuci mukaku yang terlihat masih mengantuk. Kamar mandiku memang terletak di sebelah dapur karena aku merasa takut jika kamar mandinya terletak di luar rumah. Setelah mencuci muka, aku menuju dapur dan akan membuat lauk untuk sahur pagi ini.
“Kamu mau ngapain, Sya, kok malah ke dapur? kita kan mau sahur. Nasi dan lauknya sudah Ibu siapkan di meja makan. Ayo kita langsung ke meja makan aja,” kata Ibuku yang kemudian berjalan menuju meja makan.
“Ibu kapan nyiapinnya? kok aku nggak tau,” kataku sambil berjalan di belakang Ibu dengan muka kebingungan. “Aku kan pengen membantu Ibu memasak buat sahur pagi ini, Bu. Akan tetapi, Ibu malah nggak ngajak aku,” gumamku dengan muka memelas.
“Ibu nyiapinnya tadi pas kamu masih tidur. Ibu nggak tega mau membangunkanmu soalnya kamu terlihat kecapekan,” jawab Ibu sambil menarik kursi meja makan dan mulai mendudukinya.
“Aku sebenernya jam 3 tadi udah bangun, Bu, tetapi aku tidur lagi,” jawabku sambil tesenyum manis.
“Ya sudah sebaiknya kita makan dulu. Ngobrolnya dilanjutin nanti lagi soalnya nanti nanti keburu imsak. Lagian ini makanannya juga sudah siap semua. Kamu tinggal pilih mau lauk yang mana langsung ambil aja” kata Ibu sambil mengambilkan sebuah piring untukku.
“Baik, Bu. Emang hari ini jadwal imsaknya jam berapa, Bu? soalnya aku belum baca jadwal imsaknya,” tanyaku dengan rasa penasaran.
“Hari ini itu imsak nya jam 4 lebih 15 menit. Ayo makan dulu,” jawab Ibu sambil mengambil nasi yang ada di depanku.
“Iya, sebaiknya kita makan terlebih dahulu,” kata Ayah.
“Baik, Yah, Bu,” jawabku singkat.
Ayahku yang sudah sejak dari tadi menunggu nampaknya sudah tidak sabar lagi untuk makan. Aku mulai mengambil nasi yang ada di depanku dan juga lauk yang kusukai yaitu lele goreng. Tak lupa, aku juga mengambil sambal untuk menambah rasa nikmat makanan ini. Akan tetapi, sebelum makan aku memutuskan untuk memcuci tangan terlebih dahulu agar tidak ada kuman yang masuk ke dalam tubuhku. Aku mulai melangkahkan kakiku menuju dapur dan aku mulai mencuci tanganku menggunakan sabun cuci tangan. Setelah tanganku bersih, aku kembali ke meja makan dan melahap makanan yang sudah aku ambil tadi. Selesai makan, kami lalu bersiap-siap untuk melaksanakan salat subuh berjemaah di masjid. Adzan subuh mulai berkumandang, kami lalu berangkat ke masjid bersama-sama.
Setelah selesai salat subuh, teman-teman menghampiriku dan mengajakku untuk berjalan-jalan pagi di perumahan yang terletak tak jauh dari desaku. Ini sudah menjadi kebiasaan anak-anak di desaku yaitu ketika selesai salat subuh di bulan Ramadhan mereka tidak langsung pulang ke rumah melainkan mereka jalan-jalan terlebih dahulu sambil menyalakan mercon yang sudah mereka siapkan sebelumnya. Kebetulan hari ini adalah hari libur makannya aku ingin jalan-jalan dengan temanku di pagi ini. Namun, sebelum jalan-jalan aku memutuskan untuk izin kepada ibuku terlebih dahulu.
“Bu, pagi ini aku mau ikut teman-teman berjalan-jalan di perumahan ya?” kataku dengan penuh harapan.
“Ya, tetapi hati-hati ya, Sya. Soalnya banyak anak-anak dari desa lain juga menyalakan mercon di sana. Nanti pulangnya juga jangan siang-siang,” jawab Ibu.
“Baik, Bu,” jawabku singkat.
Setelah diperbolehkan oleh Ibu, aku lalu menghampiri teman-teman yang sudah menungguku di depan masjid. Kami lalu berjalan-jalan sambil menyalakan mercon yang telah dipersiakan sebelumnya oleh teman-temanku. Sebenarnya aku takut dengan mercon, tetapi karena aku bersama dengan yang lain aku jadi tidak takut lagi. Kami pun berjalan menyusuri desa kami sebelum sampai di perumahan yang kami tuju. Di sepanjang perjalanan, kami bercerita tentang bulan Ramadhan di tahun lalu yang sangat menyenangkan. Tak terasa setelah beberapa menit berjalan, akhirnya kami sampai di perumahan dekat desaku. Kami lalu melihat-lihat pemandangan sambil menyalakan mercon yang kami bawa. Kami tidak menyalakan mercon di perumahan tersebut, tetapi di sebelahnya karena di sebelah perumahan itu ada sawah yang lebar sehingga jika kami menyalakan mercon tidak menggangu warga lainnya. Kami pun berjalan menyusuri sawah dan menikamati pemandangan yang ada. Hamparan padi yang mulai menguning menambah indah pemandangan di pagi itu. Tak lupa, burung-burung kecil pun ikut menyapa kami. Kami pun terbawa dengan suasana indah di sawah ini hingga kami lupa bahwa matahari sudah mulai menampakkan diri.
“Teman-teman ayo kita pulang. Bermainnya kita lanjutin besok aja,” ajakku kepada teman-teman yang sedang asyik menikmati pemandangan.
“Iya teman-teman. Sebaiknya kita pulang sekarang, supaya kita tidak dimarahi orang tua kita,” kata salah seorang temanku.
Aku dan teman-temanku kemudian memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Kami melewati jalan yang sama seperti tadi ketika kami berangkat. Namun, di tengah perjalanan temanku yang bernama Rendi melihat seekor anjing berwarna coklat kehitaman yang berada di depan rumah salah seorang warga di perumahan itu. Ia pun dengan iseng mengganggu anjing yang sedang beristirahat itu. Ia juga melempari anjing itu dengan mercon yang ia bawa.
“Duerrr...duerrr....,” terdengar suara mercon yang ia lemparkan ke arah anjing itu.
“Ha...ha...ha..,” tawanya ketika ia berhasil membuat anjing itu kaget karena ulahnya.
Tak lupa, Rendi pun juga berteriak-teriak sambil menirukan suara anjing yang sedang menggonggong. Anjing pun mulai kesal dengan ulah temanku. Anjing itu lalu berlari ke arah kami dengan memasang muka marah. Seketika itu, kami pun langsung berlari sekencang-kencangnya. Rendi pun juga ikutan berlari bersama kami. Dengan cepatnya, anjing itu berada tepat di belakang kami. Kami pun semakin ketakutan sehingga kami menambah kecepatan berlari.
“Tolong...tolong...tolong...,” teriak kami serentak.
Pemilik anjing itu pun keluar sambil mengejar anjingnya yang sedang mengejar kami. Tepat di depan kami berlari saat ini, ada sebuah rumah yang pagarnya terbuka. Kami lalu memasuki rumah itu supaya kami tidak dikejar oleh anjing itu lagi. Akhirnya, kami pun berhasil menyelamatkan diri dari anjing yang galak itu. Pemilik anjing itu pun marah kepada kami karena kami telah mengganggu anjingnya yang sedang beristirahat.
“Kalian kenapa melempari anjing saya dengan mercon? apakah kalian ingin supaya anjing saya cepat mati?” tanya pemilik anjing itu dengan muka marah.
Kami pun menunduk dan tidak bisa berkata apa-apa. Rendi yang tadi berulah pun tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Ia takut jika nantinya ia akan dimarahi oleh pemilik anjing itu.
“Tidak, Pak. Kami tadi tidak sengaja melempari anjing bapak dengan mercon,” jawab salah seorang temanku membela Rendi.
“Saya tidak mau tau pokoknya sekarang kalian harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah kalian lakukan tadi,” jawab pemilik anjing itu dengan nisis.
“Saya minta maaf, Pak. Saya tadi tidak sengaja mengganggu anjing bapak,” kata Rendi dengan muka memelas.
“Saya tidak mau tau yang penting sekarang kalian harus ikut dengan saya karena kalian harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan kalian tadi,” kata si Bapak dengan tatapan tajam.
“Baik, Pak,” jawab kami serentak.
Kami lalu mengikuti si Bapak menuju suatu tempat. Tempat itu menurutku cukup menyeramkan karena teretak di pojok perumahan. Sesampainya di sana, kami melihat seekor kambing yang sedang memakan rumput. Kambing itu terlihat kurang bersih karena bulunya yang semula berwarna putih sudah berubah menjadi berwarna putih kecoklatan.
“Ini adalah hukuman untuk kalian. Kalian harus memandikan kambing ini di sungai yang ada di seberang jalan. Bersihkan kotoran-kotoran yang menepel di bulunya dan jangan lupa mengembalikan kambing itu ke kandangnya lagi,” kata si Bapak sambil bergegas meninggalkan kami.
“Baik, Pak,” jawab kami dengan muka penuh dengan amarah.
Kami pun menuju sungai yang ada di seberang jalan sambil membawa kambing yang akan kami mandikan nanti. Jarak antara sungai dan kandang kambing yang tidak terlalu jauh membuat kami tidak terlalu menguras tenaga untuk menuju sungai itu. Sesampainya di sungai, kami lalu memandikan kambing itu menggunakan jerami. Setelah beberapa saat, kambing itu pun sudah berubah menjadi lebih bersih daripada sebelumnya. Kami lalu mengembalikan kambing itu ke kandangnya. Setelah itu, kami menuju rumah pemilik anjing itu untuk meminta maaf atas ulah kami tadi.
“Permisi , Pak. Di sini saya mewakili teman-teman memohon maaf yang sebesar-besarnya karena kami tadi telah membuat kegaduhan di rumah Bapak,” kata Rendi dengan perasaan bersalah.
“Iya, tidak apa-apa. Lain kali jangan di ulangi lagi, ya,,” jawab si Bapak.
“Terima kasih, Pak. Ya sudah kalau begitu kami pamit dulu ya, Pak,” jawab si pemilik anjing
Kami lalu pulang menuju ke rumah. Sebenarnya hari ini adalah hari libur sehingga kami bisa bermain sepuasnya. Akan tetapi, orang tua kami berpesan bahwa kami tidak boleh pulang siang-siang sehingga kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak karena aku merasa lelah setelah berjalan-jalan tadi. Aku beristirahat di kamar sambil memainkan game yang ada di handphoneku. Setelah beberapa saat, Ibu mulai menghampiriku.
“Gimana jalan-jalannya, Sya?” tanya Ibu sambil memasuki kamarku.
“Jalan-jalannya seru, Bu. Akan tetapi, cukup melelahkan” jawabku lirih.
“Ya sudah, sebaiknya kamu istirahat terlebih dahulu. Nanti kalau sudah tidak lelah buruan mandi, ya,” kata Ibu
“Baik, Bu,” jawabku singkat.
Ibu mulai meninggalkan kamarku sedangkan aku masih sibuk memainkan game yang ada di handphoneku. Setelah rasa lelahku mulai menghilang, aku memutuskan untuk segera mandi. Aku segera bergegas untuk mandi karena aku ingin membantu Ibu yang sedang membersihkan rumah dan memasak untuk buka puasa nanti sore. Setelah selesai mandi, aku lalu membantu Ibuku hingga pekerjaan tersebut selesai.
***
Sore hari pun tiba, kini saatnya aku melaksanakan piket di masjid. Aku melihat jam dinding yang ada di kamarku.
“Rupanya sudah jam empat,” gumamku dalam hati.
Aku lalu bersiap-siap menuju masjid. Sesampainya di masjid, sudah ada temanku yang mulai menyiapkan tikar untuk kegiatan TPA hari ini. Aku pun menghampirinya .
“Assalamualaikum,” sapaku kepada teman-teman yang sedang menyiapkan tikar.
“Waalaikumsalam,” jawab mereka serentak.
Aku pun ikut membantu mereka untuk menyiapkan tikar. Kuambil tikar yang ada di dalam masjid lalu ku bawa menuju serambi masjid dan kubentangkan dengan hati-hati. Setelah semua tikar tersusun rapi, kami menuju dapur untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk berbuka puasa nanti. Di perjalanan menuju dapur, aku berbincang dengan salah seorang temanku yang juga piket pada hari itu juga.
“Kamu tadi berangkat jam berapa, Fel? kok udah sampe duluan,” tanyaku kepada Felia. Ia adalah temanku sejak kecil. Dulu, aku dan Felia sering bermain bersama. Hingga kini, kami duduk di bangku SMA. Aku dari TK hingga SMP selalu belajar di sekolah yang sama dengan Felia. Namun, pada saat SMA aku dan Felia tidak satu sekolah.
“Tadi aku berangkat jam setengah empat. Aku adalah orang pertama yang datang ke masjid sehingga aku harus menunggu teman-teman lainnya yang belum datang, kayak kamu,” jawabnya sambil bergurau.
“Ya maaf, aku kira berangkatnya kayak biasanya yaitu jam empat,” jawabku.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 17:00 WIB, itu tandanya kegiatan TPA akan dimulai. Anak-anak pun mulai memasuki area masjid untuk mengikuti kegiatan TPA, sedangkan para remaja menyiapkan makanan dan minuman untuk berbuka puasa nanti. Kami biasanya menata makanan dan minuman untuk berbuka puasa di halaman depan masjid karena areanya cukup luas sehingga sangat nyaman digunakan untuk berbuka puasa.
Jam dinding menunjukkan pukul 17:15 WIB, itu tanda bahwa kami harus menata makanan dan minuman di atas tikar yang terletak di halaman masjid. Kami pun bersama-sama menata makanan dan minuman yang ada. Setelah kegatan TPA selesai, anak-anak di arahkan menuju halaman masjid untuk berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang telah disediakan. Sampai akhirnya adzan maghrib pun berkumandang. Anak-anak pun langsung berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang ada. Namun, sebelum berbuka puasa mereka berdoa terlebih dahulu supaya puasa di hari ini bisa mendapakan berkah dari Allah SWT.
Sementara anak-anak berbuka puasa di halaman masjid, para remaja pun juga berbuka puasa di sebelah mereka. Kami berbuka bersama dengan menu yang sama yaitu ayam goreng disertai dengan sambal dan lalapan. Kami pun makan dengan lahapnya karena sudah seharian menahan nafsu untuk makan dan minum. Setelah selesai berbuka, kami lalu membersihkan bungkus makanan yang ada dan menggulung tikar yang ada di halaman masjid. Anak-anak yang sudah selesai berbuka lalu berwudu untuk melaksanakan salat maghrib. Setelah semua pekerjaan selesai, kami bergegas untuk berwudu karena salat maghrib sudah di mulai.
***
Hari terus berganti, kini tiba saatnya di penghujung ramadhan, lebih tepatnya sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Dimana di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan ini merupakan malam lailatul qadar. Malam lailatul qadar adalah malam yang mulia dimana para malaikat akan turun ke bumi dan memberikan rahmat serta mendoakan manusia. Di malam ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan berzikir kepada Allah SWT karena di malam ini, Allah SWT akan mengampuni dosa para hambanya yang tulus beribadah kepada Allah sementara yang lainnya sedang terlelap.
Malam ini adalah malam pertama salat lailatul qadar dilaksanakan. Aku mengajak Ayah dan Ibuku untuk melaksanakan salat lailatul qadar di masjid bersama-sama. Namun, sebelum salat lailatul qadar kami memutuskan untuk tidur terlebih dahulu dan bangun pada pukul 23:45 WIB. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23:45 WIB. Kami pun terbangun dari tidur dan memutuskan untuk bersiap-siap menuju masjid.
“Hari ini salat lailatul qadarnya dimulai jam berapa, Yah?” tanyaku dengan rasa penasaran.
“Jam 12, Sya. Makanya kita harus buru-buru ke masjid supaya kita tidak ketinggalan untuk melaksanakan salat lailatul qadarnya,” jawab Ayah sambil menuju tempat wudu.
Ibuku yang sudah sejak tadi menunggu rupanya sudah tidak sabar lagi untuk segera menuju masjid. Setelah berwudu, kami pun berangkat ke masjid bersama-sama. Pada malam itu langit terlihat megah dihiasi dengan bulan dan bintang yang bertebaran. Anginnya juga sangat sejuk dan aku tidak merasakan kedinginan sama sekali ketika tubuhku merasakan hembusan angin itu. Aku beserta Ayah dan Ibuku masih menyusuri jalan setapak yang yang ada tepat di seberang masjid.
Sesampainya di masjid, sudah ada beberapa oang yang menunggu di dalam masjid. Aku dan Ibu pun mulai memasuki masjid dan duduk di shaf pertama. Pak Takmir pun mulai berdiri untuk memulai salat lailatul qadar. Aku lalu menengok ke arah jam yang terpasang di dinding tepat berada di depanku posisiku saat ini. Rupanya jam sudah menunjukkan pukul 24:00 WIB. Kami pun melaksanakan salat lailatul qadar dengan khusyuk. Setelah selesai melaksanakan salat lailatul qadar, kami lalu berzikir kepada Allah SWT. Namun, tiba-tiba saja aku melihat cahaya putih menghampiri aku yang sedang duduk untuk berdzikir. Seketika konsentrasiku menjadi buyar Aku pun kaget ketika melihat cahaya putih tersebut semakin mendekatiku.
“Assalamualaikum,” kata cahaya putih itu singkat.
“Waalaikumsalam,” jawabku diselimuti dengan rasa takut.
“Jangan takut anak muda. Saya adalah malaikat Jibril yang ditugaskan oleh Allah SWT untuk menyampaikan rahmat kepada para manusia yang melaksanakan amalan-amalan mulia di malam lailatul qadar ini,” katanya dengan suara yang sangat lembut.
Seketika aku merasa kaget. Aku tidak percaya bahwa cahaya itu adalah malaikat Jibril yang diutus oleh Allah SWT. Awalnya aku tidak percaya dengan apa yang ia katakan.
“Saya ini malaikat anak muda. Apakah kamu masih tidak percaya? saya hanya akan dilihat oleh orang-orang pilihan saja. Jadi tidak semua orang dapat melihatku dengan mudah,” tambahnya untuk meyakinkanku.
Seketika tubuhku mulai mendingin dan bertambah gemetar.
Aku pun bertanya, “Lantas mengapa engkau menampakkan diri padaku?” tanyaku dengan dengan suara yang agak gugup.
“Saya berfikir bahwa kamu adalah orang yang tepat untuk saya temui, dan aku juga berpesan bahwa jika kamu ingin mendapatkan rahmat dari malam lailatul qadar ini maka kamu harus rajin untuk melaksanakan amalan-amalan yang mulia serta memperbanyak berdzikir kepada Allah SWT,” kata malaikat itu
“Baiklah, tetapi aku tidak tau akan datangnya malam lailatul qadar itu. Apakah engkau mengetahui wahai malaikat?” tanyaku kepada malaikat.
“Saya juga tidak mengetahui secara pasti kapan datangnya malam lailatul qadar itu karena hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Sebenarnya kamu bisa saja melihat tanda-tanda yang diberikan oleh Allah SWT,” jawab malaikat.
“Benarkah malam lailatul qadar itu ada tanda-tandanya? lantas apa tanda-landa tersebut malaikat?” tanyaku dengan rasa penasaran. “Aku ingin mengetahuinya supaya aku bisa mempersiapkan malam itu dengan baik.”
Namun, ketika malaikat mendengar kata-kataku tadi, ia kemudian pergi dengan sangat cepat. Aku pun berterak sambil memanggil nama beliau supaya beliau kembali mendekatiku. Aku merasa bingung, kenapa malaikat itu malah pergi begitu saja. Beberapa saat setelah malaikat itu pergi, aku pun tersadar bahwa saat ini aku sedang berdzikir di masjid. Orang-orang yang ada di masjid menatapku dengan tatapan yang tajam ketika aku berteriak memanggil malaikat Jibril. Mereka menganggap bahwa aku ini orang yang tidak sopan karena berteriak seenaknya di masjid. Aku pun lalu mengikuti dzikir yang dipimpin oleh pak takmir. Dzikir pun selesai kini saatnya kami pulang ke rumah.
Disepanjang perjalanan menuju rumah, ibuku bertanya soal kejadian yang terjadi di masjid tadi.
“Sya, kamu tadi kenapa kok teriak-teriak begitu. Kan Ibu tidak pernah mengajarimu untuk berteriak-teriak di masjid bukan?” tanya Ibu dengan nada tinggi.
“Aku tadi melihat malaikat Jibril, Bu. Beliau menghampiriku dan berkata bahwa aku harus rajin untuk melaksanakan amalan-amalan mulia di malam lailatul qadar ini, Bu,” jawabku kepada Ibu.
“Kamu bertemu malaikat Jibril?” jawab Ibuku dengan perasaan yang tidak percaya.
“Iya, Bu. Awalnya aku melihat cahaya putih yang bergerak dengan cepat. Cahaya putih itu mulai mendekatiku. Kemudian memperkenalkan diri kepadaku bahwa beiau adalah malaikat Jibril yang ditugaskan oleh Allah SWT untuk memberikan rahmat kepada para manusia yang melakukan amalan-amalan mulia di malam lailatul qadar ini,”
“Kamu itu pasti menghayal ya... soalnya inikan sudah malam jadi mungkin kamu masih ngantuk jadi malah nglindur gini,” jawab Ibu sambil bercanda.
“Tidak, Bu. Aku tadi benar-benar bertemu dengan malaikat Jibril. Beliau mendekatiku dan berada tepat di sebelah kananku. Akan tetapi, ketika aku bertanya tentang tanda-tanda malam lailatul qadar, Beliau langsung pergi begitu saja. Dengan refleks aku lalu berteriak memanggil nama beliau supaya beliau menjawab pertanyaan yang aku tanyakan tadi, Bu,” jawabku dengan rasa bersalah.
“Ya sudah, sebaiknya lain kali jika sedang berada di masjid kita tidak boleh berteriak-teriak karena dapat mengganggu jamaah yang lainnya,” jawab Ibu sambil memberikan saran kepadaku.
“Baik, Bu,” jawabku dengan nada lirih.
Akhirnya kami pun sampai di depan rumah. Ayah kemudian membuka pintu rumah menggunakan kunci pintu yang ia bawa. Setelah berhasil dibuka, kami masuk secara bergantian. Aku lalu melepas mukena yang masih aku kenakan dan menuju kamar untuk melanjutkan tidur karena besok pagi aku harus bangun pagi untuk sahur.
***
Bulan Ramadhan tahun ini kujalani dengan senang hati dan tanpa mengeluh hingga tak terasa hari terus berganti dan bulan Ramadhan sudah akan berakhir. Malam ini adalah malam yang indah karena merupakan malam takbiran bagi umat Islam di seluruh dunia. Namun, terselip perasaan haru karena aku tak ingin ditinggalkan oleh bulan yang penuh berkah ini. Malam ini merupakan malam dimana umat Islam di seluruh dunia melantunkan takbir dan menyebut nama Allah SWT dengan penuh harapan. Suara takbir itu dilantunkan hingga pagi tiba dan semua umat Islam bersiap diri menuju masjid untuk melaksanakan salat Idul Fitri. Aku, Ayah, dan Ibu pun juga bersiap menuju masjid. Kami mengenakan pakaian dengan warna yang senada. Setelah semuanya siap, kami menuju masjid bersama dengan Simbok dan beberapa saudaraku. Kami berjalan bersama-sama sambil menikmati udara sejuk di pagi itu. Sesampainya di masjid, kami lalu menempatkan diri di shaf yang masih tersisa. Setelah melaksanakan sholat Idul Fitri kemudian kami berkunjung ke rumah keluarga untuk bersilaturrahmi dan saling bermaaf-maafan.